Taliban dan ISIS: Memahami wajah publik dan privat organisasi radikal teroris
Bulan Agustus 2021, Taliban berhasil masuk kembali ke Kabul, Afghanistan dan kembali menguasai negara Islam Afghanistan setelah 20 tahun diusir dari kekuasaannya oleh aliansi militer negara-negara barat.
Kembalinya Taliban ke tampuk kekuasaan di Afghanistan direspon beragam oleh dunia internasional. Sebagian besar merasa skeptis ada perubahan yang akan dilakukan oleh Taliban di Afghanistan.
Tapi, ada juga respon positif yang menganggap bahwa Taliban yang baru ini alias Neo-Taliban, adalah kelompok baru yang akan lebih ‘civilized’.
Bahkan seorang wakil presiden Indonesia pun menganggap bahwa Neo-Taliban adalah organisasi yang sudah berubah, moderat, dan akan menghargai hak asasi manusia, khususnya kesetaraan perempuan di Afghanistan.
Saya termasuk salah satu orang yang skeptis dan ini didasarkan pada beberapa alasan yang sebenarnya cukup terang dan jelas.
baca juga: Bom Bunuh Diri di Gereja Katedral Makassar dan Aksi Mendulang Pahala
Harus dipahami bahwa tujuan dari kelompok-kelompok yang memakai senjata dalam perjuangannya, termasuk memakai cara-cara teror dengan landasan apapun, termasuk landasan teologis alias religiously motivated terrorism, adalah kekuasaan.
Karena kekuasaan adalah tujuan utamannya maka mereka akan menggunakan berbagai cara, baik itu cara-cara kekerasan dan teror, maupun cara-cara manipulatif, agar bisa meraih kekuasaan tersebut.
Hal ini sangat jelas terlihat ketika Taliban kembali berkuasa. Wajah manipulatifnya sangat terlihat. Taliban membuat kesepakatan dengan musuh mereka selama 20 tahun, Amerika Serikat dan sekutunya, dengan mengorbankan aliansi mereka dengan Al-Qaida.
Taliban mengkampanyekan kesetaraan hak-hak perempuan, bahkan Taliban menunjukan keterbukaan mereka untuk beraliansi dengan negara-negara lain.
Tapi, wajah manipulatif itu ternyata tidak mampu menutup wajah asli Taliban yang sebenarnya, yang didasari pada kekuatan pemahaman ideologi radikalnya.
Kebebasan dan kelonggaran yang dijanjijan pada masa ‘bulan madu’ di tahun 2021 ternyata hanya manipulasi dan tipu-tipu semata. Sejatinya, Taliban tidak pernah berubah, dan tidak ingin berubah.
baca juga: Spirit Surat Al Muddatsir dalam Mengemban Amanat
Wajah manipulatif ini bukan hanya terlihat di kasus Taliban. Islamic State alias ISIS juga memainkan wajah yang sama. Pengalaman di Irak dan Suriah menunjukkan bagaimana ISIS saat masuk di Mosul, Iraq, maupun di Raqqa, Suriah juga memanipulasi wajah mereka yang sebenarnya.
Mereka menunjukkan topeng mereka sebagai penyelamat, permisif, bahkan akomodatif kepada penduduk di dua daerah ini. Mereka menjanjikan kesetaraan, kebebasan, bahkan inklusifme di saat mereka baru menguasai sebagian kecil wilayah saja.
Akan tetapi, saat mereka sudah menguasai wilayah yang lebih besar, ISIS mulai membuka topeng mereka dan menunjukkan wajah asli mereka yang dipenuhi dengan teror, degradasi nilai-nilai kemanusiaan, khususnya pelecehan dan perampasan hak-hak hidup kaum perempuan dan minoritas.