“Menjadi seorang wanita Afrika harus sanggup meneteskan airmata. Menjadi Wanita di Somalia harus siap menerima luka.
Menjadi wanita yang terjebak di tengah Al-Shabaab, harus rela untuk duka tanpa tawa.” Khadija membuka kisahnya. Airmatanya menetes, diseka dari pipinya, sesekali jatuh ke atas meja lusuh tempat dia menyilangkan kedua tangannya.
Bibirnya bergetar, luka itu nampaknya terlalu lama. Kulit wajah dan tangannya yang gelap terlihat di balik gaun dan hijabnya. Kering dan pucat, nampaknya ditempa oleh tumpukan trauma yang tidak sebentar.
baca juga: HOMO HOMINI LUPUS
Setidaknya mungkin perlakuan kasar; 9 tahun di kamp ekstremis Al-Shabaab. Pada usia 30, ia tampak lebih tua dari usianya. Dia lahir di Mombasa. Berasal dari keluarga miskin yang tidak mampu membiayai hidupnya.
Sebagai gantinya dia mencuci pakaian dengan bayaran sekedarnya. Lalu Khadija berusaha merantau ke Somalia dan dia tidak menemukan apapun.
Sebaliknya dia diculik ke hutan Boni di perbatasan Kenya oleh beberapa pemuda. Di sana ternyata tempat persembunyian Al-Shabaab, kelompok ekstremis paling ditakuti di Tanduk Afrika. Dia berusia 21 tahun saat itu. “Di kamp saya ditahan.
baca juga: Potensi Target Serangan Teroris: Infrastuktur Vital dan Pelayanan Sosial
Berulang kali diperkosa oleh enam pria sekaligus. Mereka memukul dan mengancam nyawa jika menolak pelayanan seks. Ternyata kami ditangkap memang untuk itu; budak seks bagi pejuang agar mereka tidak berpikir untuk pulang.” Khadija bertutur lirih. Khadija tidak bisa menghitung berapa ribu kali diperkosa.
Di kamp tidak ada kontrasepsi, laki-laki yang memperkosanya tidak juga menggunakannya – hingga akhirnya Khadija tertular HIV.
Tragisnya lagi; dia hamil! Pada satu kesempatan Khadija berhasil kabur setelah bersembunyi selama seminggu di hutan, ia dibantu seorang Ustadz di kamp Al-Shabaab – Khadija berhasil bebas dan kembali ke Mombasa.
baca juga: Bujukan Yurisprudensi Agama
Di kampung halamannya ia dijauhi, selain karena HIV juga dianggap kaki tangan teroris. Kohesi sosial Khadija telah hancur. Ia sekarang hidup membesarkan anaknya dengan penyakit yang semakin menyengsarakannya. “Saya menunggu mati.
Mungkin Tuhan yang akan menjaga anak saya,” kata Khadija. “Tapi saya merasa putus asa, Tuhan mungkin tak akan membela saya, Dia selama ini lebih membela Al-Shabaab,” katanya sambil berlinang air mata. (Khadija adalah “returnees” Al-Shabaab yang diwawancarai oleh Institute for Security Studies pada tahun 2016)
Tweet @islah_bahrawi