Kadang sulit untuk menyadari bahwa patriotisme bukan hanya berperang dalam perang, tapi juga berperang untuk menjauhkan bangsa dari peperangan.
Karena bagaimana pun sebuah bangsa adalah persahabatan bersama dari berbagai kelompok. Jika sebagian kelompok tidak lagi menjadi sahabat, mencaci maki dan menyerang satu sama lain, maka tidak akan ada lagi “Städtesfreundschaft”, kata Robert Sternberger; kekosongan persahabatan yang akan membuat negara sekuat apapun perlahan akan runtuh. “Karena itu saling bersahabat dalam satu bangsa menjadi penting.
baca juga: Ibnu Muljam: Pembunuh Ali bin Abi Thalib RA
Kohesi sosial yang dibangun secara kuat adalah oksigen suatu bangsa”, kata Sternberg. Negara melawan radikalisme pada dasarnya bukan untuk membinasakan, tapi kembali mengajak mereka untuk bersahabat. Saling menyadari bahwa tanah air yang dipijak bersama adalah pusat gravitasi dari berbagai perbedaan manusia, dalam hak dan kewajiban yang seimbang.
Penghargaan atas harkat dan martabat yang sama kepada semua warga tanpa melihat latar belakangnya. Konsep bernegara semodel ini menurut Ibnu Khaldun disebut konsep “Ashobiyah”, kesepakatan bersama dalam tatanan sosial dan politik.
Konsep ini kata Ibnu Khaldun dalam kitab “Al-Muqaddimah”, mengacu kepada metode Nabi ketika membuat Piagam Madinah untuk membangun persahabatan yang saling mengikat dengan menjadikan perbedaan sebagai titik temu yang rekat.
baca juga: Syekh Adnan Afyouni: Korban Kebiadaban Teroris
Radikalisme, ekstremisme dan terorisme adalah soal metode berpikir. Sebagian manusia tidak mungkin bisa menyamakan paksa pemikirannya – terlebih lagi dalam soal keimanan dan keyakinan – dengan manusia lainnya. Karena setiap manusia menjalani takdirnya masing-masing.
Oleh karena itu hanya empati kemanusiaan, intimasi sosial dan kedamaian yang bisa menyatukan semua manusia dengan segala perbedaannya. “Perang” melawan radikalisme dan terorisme adalah demi mewujudkan semua tujuan luhur ini, yakni kembali merajut persahabatan agar tidak ada lagi pengkhianatan dan saling curiga.
Agar tidak lagi cemas atas tikaman saudara sebangsa sendiri seperti yang terjadi di Afghanistan, Sudan atau Suriah. Maka perjuangan tanpa lelah untuk melawan ideologi kebencian ini harus terus berlangsung dari generasi ke generasi.
baca juga: Lashkar-e-Taiba: Kelompok Teroris di Daratan India
Meski penganut ideologi ini tidak mendominasi, tapi akan selalu menjadi kerikil dalam sepatu perjalanan suatu bangsa. Empat orang di bawah ini adalah orang-orang yang menjadi korban doktrin ideologi kekerasan atas nama agama.
Mereka semua adalah yang ditangkap di Lampung minggu ini. Mereka yang menganggap bahwa bumi dan langit hanya seukuran badannya dengan klaim-klaim kebenaran sepihak.
Mereka ditangkap oleh Densus 88 agar terbangun kesadaran kognitifnya bahwa inti dari setiap kelahiran manusia adalah berdamai demi persahabatan dan bersahabat demi perdamaian dalam segala perbedaannya.
Tweet @islah_bahrawi