Pendanaan Kelompok Teror
Kebutuhan pokok untuk menopang keberlangsungan kehidupan adalah ekonomi. Setiap aspek kehidupan akan mati perlahan jika sektor ekonomi tidak mencukupi.
Begitupun dengan organisasi/kelompok teror. Untuk melakukan amaliyah, pelatihan, propaganda atau apapun itu, mereka perlu mencukupi kebutuhan agar semua berjalan maksimal.
Misal, kita ambil contoh kasus bom bali. Bom yang dibuat oleh Amrozi cs mempunyai daya ledak yang besar, bahkan menurut Mantan kepala Badan Koordinasi Intelijen Nasional (Kabakin), ZA Maulani, “Yang meledak di Bali itu bukan senjata konvensional. Dia adalah special atomic demolition munition (SDAM) yang disebut juga nuklir mikro. Bahan bakunya adalah plutonium dan uranium. Daya ledaknya setara dengan 4 ton TNT high explosive,” katanya dalam sebuah diskusi di Jakarta.
baca juga: Bom Bunuh Diri di Gereja Katedral Makassar dan Aksi Mendulang Pahala
Bom dahsyat buatan Amrozi cs tentu membutuhkan bahan baku yang tidak murah. Ditambah biaya kendaraan yang digunakan untuk peledakan. Selain kasus bom bali, Densus 88 Polri menangkap teroris di majalengka pada Rabu (23/11/2016) dan ditemukan racikan bom berbahan kimia yang daya ledaknya 2-3 kali lipat lebih dahsyat dari bom bali.
Lalu akan muncul pertanyaan, berasal dari manakah semua bahan peledak untuk merakit bom? Jawabannya, tentu teroris memiliki sokongan finansial untuk membeli segala kebutuhan dan bisa jadi mereka juga memiliki jaringan underground untuk mendatangkan bahan peledak ilegal.
Fundraising yang terkait dengan terorisme yang ada di indonesia secara umum terbagi menjadi tiga bentuk kegiatan:
- Pertama, perampasan atau perampokan.
 - Kedua melalui donasi public dengan menggunakan isu-isu yang berkembang di dunia, seperti Palestina, Rohingya, UIGHUR, dll atau iuran kelompoknya sendiri.
 - Ketiga melalui bisnis atau usaha. Dari ketiga kegiatan tersebut mereka mampu membeli bahan-bahan peledak dan juga untuk menjalankan kehidupan organisasinya
 




 






 
 
 
 
 
 




