Terorisme sebagai puncak aksi kekerasan tidaklah lahir dari ruang hampa, tindakan terror ini merupakan akumulasi dari penanaman ideologi yang terus menerus dan intens. Ada ragam rekruitmen yang dilakukan oleh organisasi teroris dalam merekrut anggota baru mereka.
Untuk menyebut beberapa, kelompok ISIS merekrut anggotanya dari belahan dunia menggunakan media online dengan menyasar target anak muda dan para orang dewasa.
Keinginan mereka untuk menjalankan kehidupan Islami secara kaffah menjadi daya pikat bagi beberapa kalangan sehingga tertarik untuk bergabung dengan kelompok ISIS.
baca juga: Komandan Pasukan ISIS di Afganistan Tewas dibunuh Pasukan Taliban
Media online berperan besar dalam menjaring simpatisan ISIS untuk bergabung ke dalam kelompok mereka, mereka menggambarkan sebuah tatanan negara yang ideal sesuai ideologi yang mereka pilih melalui tampilan gambar dan video.
Kendatipun demikian ada acara-cara lama yang dilakukan kelompok teroris dalam memperbanyak jumlah anggotanya jauh sebelum perkembangan teknologi informasi yang begitu massif seperti saat ini, yaitu perekrutan dengan metode offline atau dengan tatap muka langsung.
Melalui kajian-kajian agama yang bersifat tertutup dan ekslusif, tidak sembarang orang dapat menghadiri pertemuan semacam ini, hanya orang-orang yang bisa diverifikasi sebagai anggota kelompok yang bergabung.
Para pelaku Bom Bali misalnya, beberapa diantara mereka merupakan alumni dari perang Afghanistan pada dasawarsa 80 hingga 90an, seperti Amrozi, Ali Imron dan Mukhlas yang tergabung dalam kelompok Jamaah Islamiyah. Diantara mereka merekrut calon anggota dengan pendekatan personal.
Berbeda dengan perekrutan secara online yang membutuhkan waktu lama dalam proses perekrutan, paling tidak dibutuhkan waktu berbulan-bulan sehingga ajaran dan doktrin teror ini bisa diterima oleh si calon anggota.
baca juga: Ibnu Muljam: Pembunuh Ali bin Abi Thalib RA
Menurut Ali Imron, terpidana kasus Bom Bali, mengatakan dalam wawancaranya dengan Rosi Silalahi, ia menuturkan bahwa kelompoknya hanya butuh waktu 2 jam saja untuk merekrut orang-orang bergabung ke kelompoknya dan siap untuk menjadi pelaku bom bunuh diri.
Selanjutnya, ia menjelaskan kepada remaja dan pemuda tentang syariat jihad dalam arti perang yang merupakan perintah Allah SWT serta keutamaan dan pahala bagi orang yang mati syahid di jalan Allah.
Remaja Sebagai Target Utama
Pemilihan remaja bukanlah tanpa alasan, di usia menjelang matang, menanamkan ideologi terror lebih mudah diterima dengan dari pada orang dewasa. Beberapa remaja berusia belasan yang masih belum mengenal ragam ideologi dan cara pandang akan sangat mudah terpapar paham radikal seperti ini.
Remaja yang jauh dari pengawasan orang tua menjadi sasaran dan target perekrutan oleh kelompok dan organisasi teroris. Psikologi remaja yang masih labil dan kebanyakan dari para pelaku terror adalah mereka yang buru “melek” agama.
Berikut adalah kisah yang dialami seorang pemuda Syria bernama Arsem, Ketika usianya baru menginjak 13 tahun ia telah dipaksa untuk bergabung ke dalam kelompok ISIS.
Dia dilatih ala militer selama 6 bulan dan di dalam pelatihan tersebut ia diajarkan bagaimana menggunakan senapan otomatis dan roket oleh beberapa anggota isis di sana.
baca juga: Profil dan Jejak Teror Abu Sayyaf
Selain keterampilan menggunakan senjata disana juga ia ditanamkan ideologi untuk membenci dan membunuh orang-orang kafir Kurdi dan tantara Syria.
Masih menurut penuturan Arsem, setiap hari selepas berlatih, para remaja dipertontonkan video bom bunuh diri terbaru yang dilakukan oleh kelompok ISIS di beberapa wilayah di Irak dan Syria.
Para senior di ISIS meyakinkan kepada para remaja belia untuk menjadi pelaku bom bunuh diri dengan imbalan surga yang sungainya dialiri oleh air anggur dan ditemani 72 bidadari.
Di tengah krisis kemanusiaan seperti ini, kelompok teroris ISIS merencanakan serangan ke eropa dengan menyamarkan para remaja ini ke dalam rombongan para pencari suaka yang menyebrang ke Eropa, tentunya hal ini dilakukan dengan jejaring isis yang ada di negara-negara Eropa.
Cukup mudah bagi para remaja untuk terpapar paham radikal namun butuh waktu lama untuk melakukan upaya deradikalisasi kepada para eks kombatan dan narapidana terorisme (napiter).
Seperti yang diungkapkan oleh Sydney Jones, seorang peneliti terorisme dari Australia, “hanya karena faktor kekurangan ekonomi, seorang mantan narapidana terorisme dapat kembali bergabung dengan kelompok radikal”
Diolah dari beberapa sumber